Riduan Iman - Wali Kota KDH Tk.II Banjarmasin Periode 1971-1973


KOTA Seribu Sungai, julukan yang begitu akrab di telinga warga Banjarmasin. Entah mengapa, justru meski dikepung ratusan aliran sungai yang bermuara di Sungai Barito, serta bercabang-cabang di Sungai Martapura, air bersih seperti menjadi sebuah hal yang paradoks di ibukota Provinsi Kalimantan Selatan.


BERAWAL dari memenuhi kebutuhan air bersih di pemukiman elit kulit putih di seputar Benteng Tatas (kini menjadi kawasan Masjid Raya Sabilal Muhtadin) pada 1937 berdiri perusahaan daerah yang bernama Water Leijding Hendrief . Pengolahan air yang bersumber sumur tua di area Gelanggang Remaja (GOR Hasanuddin HM) di Jalan Pangeran Antasari yang memiliki kapasitas 35 liter per detik dan 300 buah jumlah sambungan pelanggan yang didominasi para keluarga residen dan militer era koloinal Belanda.

Dari sini cikal bakal PDAM Bandarmasih yang menyadur nama sebuah bandar pelabuhan besar di era Kesultanan Banjar. Dikutip dari buku Sedjarah Kota Bandjarmasin yang ditulis Artum Artha edisi 1970, tergambar ide pengembangan pengolahan air minum yang dirintis para pelopor kota ini.

Menurut Artum Artha, di era Walikotamadya Banjarmasin Hanafiah dan kemudian digantikan Riduan Iman dimulai perluasan saluran air minum dengan membangun komplek saluran air minum yang baru. “Saat itu, dengan saluran air yang bersumber dari PLTA Riam Kanan itu bisa memberikan air bagi seluruh warga kota. Ini untuk menjamin kesehatan warga,” tulis mantan Ketua DPRD Banjarmasin.

Secara khusus, Artum Artha menjelaskan para walikota yang berkantor di Balai Kota sewaktu di Jalan Lambung Mangkurat dan akhirnya pindah ke Jalan RE Martadinata, selalu memberi sebuah monumental. Ya, seperti peninggalan Walikota Hanafiah adalah Banjar Raya sebagai pusat hiburan rakyat, yang menjadi warisan dari pejabat sebelumnya, Walikota Burhan Afhanie dan Walikota Haji Horman.

Secara khusus, dalam bukunya, Artum Artha turut menyebut nama Riduan Iman sebagai pelopor pembuatan jaringan pipa air leding yang dikelola PAM Banjarmasin, hingga bisa dinikmati warga kota. “Saudara Riduan Iman itu dilantik Gubernur Kalsel pada 4 Januari 1971,” tulisnya dalam bukunya.

Mengapa Riduan Iman berpikir untuk membuat jaringan pipanisasi air leding? Penulis pernah mewawancarai Walikota Banjarmasin periode 1971-1973 ini yang mengakui kondisi keasinan air di kala musim kemarau, membuatnya berani menerobos kebijakan pro rakyat. Gara-gara proyek pipanisasi yang diperolehnya dari bantuan luar negeri dan pemerintah pusat itu, konon Riduan Iman hal itu yang menjadi penyebab pencopotannya oleh Gubernur Subarjo, ketika itu. Padahal, sosok Walikota Banjarmasin yang dikenal tegas ini sebagai pelopor modernisasi jaringan pipa PAM Banjarmasin.

Pendiri STIENAS Banjarmasin ini juga diakui mantan Direktur Utama PDAM Bandarmasih, Zainal Arifin sebagai sosok  yang berani mengambil risiko dalam memperjuangkan daerah. Hingga akhirnya, pemerintah pusat menggelontorkan dana untuk pembangunan jaringan air bersih dengan menggunakan pipa besi.

Teringat penulis, ketika Riduan Iman bercerita bahwa daya pipa besi yang ditanam dalam tanah di kawasan Jalan Merdeka dan Sutoyo S dan lainnya itu mampu bertahan selama 50 tahun. “Saya bercerita bukan menyebut jasa, tapi untuk mengenang perjuangan seorang walikota bagi rakyatnya,” kata Riduan Iman yang merupakan seorang veteran pejuang. Hingga pada 6 Mei 2009 silam, sang perintis proyek pipanisasi PDAM Bandarmasih ini dikebumikan di alkah keluarga besar di Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

Jadi, derap langkah visioner seorang sosok Riduan Iman ini sudah sepatutnya dicontoh pemimpin di Balai Kota. Mengapa, sebab sejak 1964, sudah dilakukan pengembangan IPA IA dengan kapasitas 275 liter per detik yang merupakan bantuan dari Pemerintah Prancis, dengan sumber air baku dari Intake Sungai Bilu dan Sungai Tabuk.

Dengan adanya itu, baru Pemkodya Banjarmasin membentuk Dinas Saluran Air Minum Kotapraja Banjarmasin pada 1971, dan kemudian pada 1976 berubah menjadi PDAM Kotamadya Banjarmasin untuk mengelola sumber air bersih. Pencarian sumber air baku itu juga dilakukan pada 1983 dengan mengoperasionalkan 5 sumur bor di Km 24 Landasan Ulin Banjarbaru dengan kapasitas 60 liter per detik. Lalu, dilanjutkan pada 1986 dengan rehabilitasi IPA I Achmad Yani dari kapasitas 275 liter per detik menjadi 416 liter per detik.

Terus bergerak pada 1989, Pemkodya Banjarmasin membangun mini treatment di Jalan Sutoyo S dengan kapasitas 20 liter per detik. Dilanjutkan lagi pada 1991 di kawasan Jalan S Parman dan Pasar Pagi dengan kapasitas yang sama. Dua tahun selanjutnya, dibangun IPA II Pramuka dengan kapasitas 500 lt/dtk, hingga pada 1995 baru bisa dioperasionalkan.

Perkembangan makin membuat aset PDAM Bandarmasih itu bertambha, ketika pada 1996 dibangun dua reservoir di Jalan S Parman dan Jalan A Yani dengan kapasitas 2.500 m3 dan 3.500 m3, berikut jaringan pipa transmisi dan distribusi untuk wilayah Banjarmasin Utara dan Barat. Nah, ketika UPT IPAL masih di bawah kendali PDAM Bandarmasih, dilakukan penyerahan IPA sumur bor Km 24 Landasan Ulin ke PDAM Intan Banjar, dngan kompensasi penyerahan modal atau pemindahan MTP Sutoyo S, Pasar Pagi dan S Parman dengan total kapasitas 60 liter per detik ke IPA I Achmad Yani.

Pada 2002, terjadi rehabilitasi Intake Air Baku Sungai Bilu menjadi 520 liter/detik dan pemasangan pipa transmisi berdiameter 630 mm dari Intake Sungai Bilu hingga IPA Achmad Yani dipenjang 1.200 meter. Setahun kemudian, pada 2003, Intake Sungai Tabuk ditingkatkan kapasitas dengan pemasangan pipa transmisi berdiameter 630 mm sepanjang 2.954 mter dari Intake Emergensi Sungai Ulin hingga Waduk Pilot Schem, dan dilanjutkan pemasangan pipa transmisi berdiameter 1.000 meter sepanjang 1,7 kilometer dari Intake Pilot Cchem hingga Intake Sungai Tabuk. Seiring itu pula, IPA II Pramuka ditingkatkan kapasitasnya dari 500 liter per detik menjadi 1.000 liter per detik pada 2005, dan 2007 giliran IPA I Achmad Yani juga digerek dari 416 liter per detik menjadi 560 liter per detik.

Mantan Walikota Banjarmasin Effendi Ritonga pun mengatakan sebetulnya Banjarmasin itu membutuhkan lima waduk atau semacam embung alami untuk menyuplai air bersih bagi warganya. Dalam dialog dengan Forum Rembug Kota (Forkota) Banjarmasin, Effendi Ritonga membeberkan konsepnya untuk mengatasi kesulitan air baku, saat musim kemarau ketika intrusi air asin menyebar ke Sungai Martapura.

Konsep ini juga dinilai Anang Rosadi Adenansi sebagai hal yang logis secara teknis. Jebolan Fakultas Teknik Universitas Jayabaya Jakarta ini mengatakan sudah sepatutnya PDAM Bandarmasih itu menerapkan konsep jaringan terputus atau boster sebagai bagian peningkatan distribusi air ke rumah pelanggan, terkhusus wilayah pelosok kota. “Jangan sampai justru akibat perbaikan pipa, justru membuat air macet bahkan mati total. Apalagi, seperti sekarang menaikkan tarif air tanpa mempertimbangkan kondisi perekonomian masyarakat, serta bentuk pelayanan yang terbaik bagi pelanggan,” tandasnya.(Redaksi - jejakrekam)